Saturday 19 October 2013

Sempurnanya pagi di KAWAH IJEN

Dretttt…tttt….tt,seakan masih tidak percaya kalau alarm hape sudah berbunyi.  Baru gulang guling sambil berusaha mengalahkan dingin, jam sudah menunjukkan pukul 3 subuh. Waktu 2 jam yang d rencanakan untuk tidur tidak berjalan sesuai rencana. 

Tergopoh gopoh bangun mengalahkan rasa malas, kami bersiap siap mendaki ke kawah ijen.  Daripada nanti malah menyesal karena terlambat menyaksikan sunrise Dengan modal senter sebiji untuk berempat, kami jalan perlahan menyusuri jalur yang telah disediakan. Dari pos paltuding ke kaldera ijen berjarak sekitar 3 kilo meter.  Jarak yang tidak bisa disepelekan karena menanjak, berkelok, oksigen tipis, kabut tebal, dan gerimis. Di bagian kiri jalur pendakian ada patok penanda jarak setiap seratus meter, terlihat samar samar oleh sorot lampu senter. Kabut subuh itu cukup tebal untuk membuat pandangan jelas hanya sejauh 3 langkah kaki, selebihnya tidak terlihat.

Panas badan dan cucuran keringat akibat jalan yang makin menanjak belum cukup membuat saya berani mengeluarkan tangan dari balik kantong jaket. Apalagi saya lupa membawa sarung tangan, karena tidak menyangka akan sedingin ini. Semakin tinggi, semakin sering juga kami berhenti, menghela napas, mengumpulkan cadangan oksigen dan tenaga. Sampai di kilometer kedua kami berhenti di sebuah bangunan yang terlihat seperti warung. Ternyata tempat ini adalah tempat penimbangan belerang yang diangkut masyarakat dari kawah ijen untuk ditukarkan menjadi rupiah sebelum diangkut ke pabrik pengolahanya di Licin, Banyuwangi. Disini kami berhenti hampir satu jam karena hujan bertambah lebat menambah dinginnya subuh itu. Di tempat ini ada satu rombongan wisman dengan guide, mereka semua dari prancis. Sebelumnya di bawah tadi kami pun bertemu wisman dan mereka juga dari prancis.  Wisman ini well prepare, menggunakan raincoat, ngemil buah dan biscuit, sedangkan kami cuma bisa menelan air mineral bergantian plus menelan air ludah. Miris!

Selepas dari pos timbang jalan makin menyempit, berpasir, dan licin. Pemandangan di sekitar tidak terlihat sama sekal, semua masih berselimut kabut. Yang samar samar terlihat adalah jurang di sisi kanan saya. Ujung jalan ini berujung di pertigaan. Sepertinya ini adalah puncak, karena jalanan selanjutnya melandai. Dari tempat ini masih belum telihat apa apa. Masih hanya kabut dan diri saya sendiri yang terlihat jelas. Di kejauhan tampak kelap kelip cahaya berjejer beriringin. Kami berjalan menuju arah cahaya tersebut tersebut. Rupanya cahaya itu berasal dari senter para pengunjung berhenti di punggung kaldera.

Tangan saya mulai memerah dan terasa kebas karena suhu yang dingin. Bulan juli agustus merupakan suhu terdingin di ijen. Dari catatan, suhu bisa jatuh diangka 0 – 4 derajat celcius.  Langit sama sekali tidak terlihat, pemandangan apa pun tidak terlihat sama sekali, hanya kabut tebal dan gerimis (ntah gerimis atau kabut yang mengembun berair). Sampai desis angin yang cukup besar tiba tiba berhembus berulang kali. Tiba tiba di depan mata saya terbuka pemandangan yang sedari tadi saya tidak sadari bahwa saya ada di depannya.

Perlahan – lahan kabut terhempas angin, tampak kaldera panjang melingkar di puncak tebing terjal dengan danau kawah berwarna hijau toska cemerlang di tengahnya…sungguh pemandangan maha sempurna. Dramatis. Fantastis!. Langit pun tidak mau kalah menggoreskan lukisan indah di kanvas ilahi ini. Gurat gurat cahaya merah keemasan berpendar di langit, muncul dari balik puncak puncak kaldera.   Secara garis besar bisa saya gambarkan bahwa kawah ijen dikelilingi tebing kaldera selebar jalan setapak untuk dua orang. Dari puncak jalan pendakian, kita dapat belok ke kiri untuk mencapai dataran kaldera yang lebih tinggi dan mendapatkan sudut padang yang lebih jelas dari landscape pegunungan dan liauk liuk kaldera yang melingkar. Belok ke kanan untuk mendapatkan pemandangan danau kawah secara utuh. Saya dan Martin terlebih dahulu berjalan ke kiri menikmati deretan pepohonan kerdil yang tampak mistis tertutup kabut dan basah oleh bulir bulir embun, kontras dengan abu vulkanik hitam yang mengelilinginya. Kami berhenti cukup lama di balik pepohonan ini menikmati deretan pegunungan lain yang  puncak puncaknya menyembul dibalik kumpulan awan putih. Angin tiba tiba berhembus kencang kembali, membawa kembali kabut dan aliran udara sedingin es, kali ini benar benar membuat tangan terasa seperti ditampar – tampar, perih dan terasa tebal. Saya sadar ini sudah berbahaya, ujung ujung saraf di tangan sudah tidak bisa bertoleransi pada suhu dingin ini. Saya meringkuk berlindung di balik pohon pohon kerdil, berusaha menghindar dari terpaan angin. 

Saat kabut mulai memudar kami menuju ke kaldera tebing kawah. Kaldera ini lebih landai, datar, namun sempit. Disebelah kiri Nampak danau asam berair hijau toska terang, di sisi kanan tebing jurang ijen yang ditutupi vegetasi hijau dengan gelayutan awan putih bersemburat emas kemerahan diterpa fajar. Jalan di kaldera ini berwarna hitam pekat karena dibentuk dari abu vulkanik letusan ijen berkali kali. Tebing curamnya tampak berkelok kelok seperti tersisir sisir raksasa, bekas aliran lava pijar. Sungguh kontras alam yang menakjubkan. Dari jalan landai kadera ini di kejauhan, di keempat sisi, pemandangan lebih mengagumkan lagi, deretan puncak puncak gunung yang mencuat dari balik gumpalan lautan awan putih, kemerahan sinar matahari yang berpendar dari balik puncak gunung hijaunya serta langit biru bersih dengan beberapa noda noda awan kemerahan Dari atas kaldera saya dan Martin turun ke arah kawah. Bayu menunggu atas karena tidak tahan asap belerangnya.

Untuk menuju kawah kami harus turun sejauh 1 kilometer. Turunan ini sangat curam, mulai dari setengah miring sampai kemiringan severtikal tembok gedung. Setapak demi setapak, dengan penuh kehati-hatian saya memilih batu untuk di pijak. Kabarnya pernah ada  turis wanita asal Sweden yang meninggal karena terpeleset saat turun ke kawah. Ngeri juga mendengarnya. Dalam perjalanan kami berpapasan dengan banyak penambang yang akan turun ke kawah untuk mengambil belerang dan penambang lain yang berjalan ke atas menuju pos timbang dengan pikulan dua keranjang berisi bongakahan batu belerang. Berat pikulan itu berkisar 70 – 90 kilogram. Awalnya saya tidak percaya dengan beratnya yang tidak masuk akal karena bongkahan belerang itu tidak tampak seperti batu yang berat, hanya tampak seperti bongkahan cadas tanah yang ringan. Sampai saya mencoba mengangkatnya sendiri. Jangankan terangkat, bergetar saya tidak,malah saya yang hampir jatuh. Tentu saja saya jadi percaya sekarang.

Kedatangan turis ke sini meninggalkan budaya buruk. Awalnya dulu turis mungkin merasa iba melihat pekerja tambang yang lalu lalang memikul beban super berat dan berniat member bantuan dengan meletakkan roti, rokok, makanan, atau minuman di keranjang pikulannya. Hal ini lama lama menjadi kebiasaan, sampai levelnya meningkat menjadi sebuah keharusan. Tentu saja hal ini merubah pandangan para pekerja bahwa semua turis jadi wajib melakukan hal itu. Jadilah kami yang kena, kami yang tak tau apa-apa dan tidak membawa apa-apa dimintai roti dan rokok oleh para pemikul belerang yang berpapasan. Ini jadi membuat kami tidak enak dan merasa tidak nyaman. Percakapan dan informasi yang keluar dari lawan bicara pun seperti tidak alamiah karena ada pamrih dalamnya. Tapi itulah dua sisi pariwisata, turisme membawa kesejahteraan sekaligus mengikis nilai nilai kealamian.  Dari yang apa adanya menjadi apa yang seharusnya ada, dari sudut keinginan pengunjung. By the way, akhirnya sampai juga di bibir kawah. Kawah ini berasap dan di beberapa sisi mengeluarkan gelembung gelembung seperti air mendidih. Ingin rasanya menyentuh, berendam di air danau berwarnau hijau toska cerah ini, tapi tentu saja tidak saya lakukan. Air danau yang asam dan panas dalam hitungan detik bisa meluruhkan badan menjadi larutan penambah mineral danau. Tapi ke-extreman itu yang menyebabkan dia menjadi punya daya tarik.

Di pinggiran danau inilah para penambang dan mandor bekerja, membongkar tumpukan batu belerang dari dalam kepulan asap belerang dan panas uap vulkanis. Bau asap belerang ini seperti telur busuk, pekatnya membuat nafas tersengal dan mata merah berair. Saya menutup hidung dengan masker basah agar bisa berjalan mendekati para pekerja yang sibuk bertaruh nyawa membongkar emas emas penghidupannya. Tiba tiba ada yang menyapa “hi, good morning,” sapa seorang bule dengan logat yang jelas bukan dari amerika atau british.  “hi, good morning too” benar ternyata dia orang prancis. Kami asik ngobrol sampai saya malu karena tau kali ini adalah keenam kalinya ia menginjak ijen. Dia pernah surfing di aceh, mentawai, krui lampung, NTT, sampai papua. Selama ini saya kemana aja?? Bahkan banyak nama tempat di Indonesia yang dia dia sebutkan saya baru mendengar pertama kalinya.

"Ketika pagi menggantikan malam, kau buka mata dan yang kau lihat adalah gunung dan kawah hijau toska dikelilingi kaldera gunung berapi dengan pendar kemerahan sang surya, yang kau cium adalah aroma embun di pepohonan, aroma abu vulkanis, sampai aroma sulphur yang menyengat, yang kau rasakan adalah dinginnya pagi berubah menjadi kehangatan terpaan fajar, yang kau dengar adalah desis angin mengusir kabut dan suara burung burung dataran tinggi.  Itu lah yang dinamakan kesempurnaan sebuah pagi dalam satu hari hidupmu. Itulah sempurnanya pagi di Ijen"

Tuesday 8 October 2013

Jalan Panjang ke Kawah Ijen

Hampir lima jam sudah kami berempat berkendara, sudah selama itu juga waktu terbunuh dengan obrolan ngalor ngidul, ngemil, ngobrol lagi, ngemil lagi sampai tiba di kota di kecamatan Nguling, Pasuruan. Kami berhenti di tempat makan terkenal yang menjadi rekomendasi semua orang yang pernah lewat disini. Ya namanya Rawon Nguling, terkenal seantero seIndonesia dan konon ada cabangnya di Jakarta. Bisa dibuktikan, ketika menengok ke dinding tertempel kliping koran, majalah yang memuat kunjungan makan siang presiden SBY disini. Pasti kualitas dan rasanya diatas standard kan?! . selain rawon masih banyak menu jawatimuran lain. Pastinya semua pilihnya rawon…Cuma sekali lewat disini masak yam au coba yang lain. Terkecuali saya karena saya tidak makan sapi. Kembali melanjutkan perjalanan, kembali lagi ke adegan yang sama, ngobrol, ngemil, sampai ketiduran. Sampai lewat di daerah Paiton, probolinggo. Pembangkit listrik paiton yang berdiri supermegah di tepi laut, di pinggir jalur pantura ini sungguh menarik perhatian siapa saja yang melintas. Kawasanya super besar dan terlihat canggih dengan instalasi bangunanya yang rumit.

Perkiraan saya jauh meleset. Awalnya saya kira akan sampai daerah Situbondo sore sehingga bisa langsung naik ke Ijen. Dan baru jam 1 siang kami sudah hamper sampai di Situbondo. Bingung mau ngapain, saya buka peta wisata jawa timur yang sempat diprint sebelum berangkat. Di peta ada petunjuk tempat wisata pasir putih di jalan yang akan kami lewati. Kami putuskan mampir ksana dulu untuk menghabiskan waktu. Tapi sepanjang pantai utara ini pasirnya hitam terus saking bingungnya mikir apa petanya mungkin salah, sampai ada gerbang bertulis  taman wisata pasir putih. Pasir pantainya sama sekali gak ada putih putihnya. Pantainya pun cuma selebar kangkangan kaki. Tiba - tiba ada bapak yang menawarkan jasa wisata melihat terumbu karang ditengah laut pake perahunya. Berhubung harganya masuk di akal dan gak ada pilihan kegiatan. Kita ikut aja naik perahu si bapak. Ternyata cuma harapan palsu, sama sekali gak ada yang layak disebut terumbu karang, yang ada cuma batu batu karang mati, tanpa ikan. Tapi, waktu balik arah kembali ke pantai, pemandangan pegunungan dan bukit menjulang terlihat begitu indah, yang hitung hitung kami membayar jasa untuk melihat pemandangan ini, bukan si terumbu karang hayalan si Bapak. Meskipun tempat ini masuk kategori biasa saja dan kunjungannya tidak direncanakan, tapi dari bapak perahunyalah kami dapat ide untuk ke Baluran (taman nasional konservasi banteng jawa yang terkenal sebagai Africa van java).

Baluran sebenarnya hanya untuk mengulur waktu karena ada Martin teman kami dari Scotlandia yang akan join ke Ijen terkena macet di pelabuhan gilimanuk sehingga ia akan terlambat sampai di meeting point Situbondo. Tepat setelah magrib dan kebetulan juga kami sudah puas mengexplore isi Baluran, Martin menelpon kalau dia sudah diantara banyuwangi dan situbondo. Kami langsung menyusulnya langsung dari baluran, kembali kea arah situbondo.  Dipinggiran pasar situbondo, kami menemui martin dan langsung berhenti makan di sekitar situ. Dari warung makan ini jugalah kami mendapatkan petunjuk arah ke kawah Ijen melalui jalur Situbondo Bondowoso. Ternyata petunjuk belok kanan 2 kali, lampu merah lurus, terus liat plank belok kiri waktu sudah dipraktekkan jadi susah, jalanan makin lama makin gelap, lampu jalan makin nihil. Plank yang dimaksud bapak pemilik warung hamper kelewatan karena tertutup ranting pohon.  Dari tempat bernama Wonosari ini kita  hanya ngikutin jalan berkelok menanjak yang gelap gulita. Kenapa jalannya bagus mulus terus gak sesuai dengan beberapa info blog yang mengatakan kalo jalur bondowoso ini semakin lama jalurnya akan makin curam dan rusak??. Hmmm…insting bilang ada yang salah. Kami menyetop pemuda berkupluk berbungkus sarung dipinggir jalan. Wah benar, kata pemuda itu kami sedang mengarah ke gunung argopuro, bukan ijen.  Alhasil kami harus balik arah. Sekedar info aja, ijen ini bias diakses dari dua jalur utama. Dari timur laut melalui kota banyuwangi dengan jarak lebih dekat, minus jalan tajam menanjak, lurus, curam, licin tak beraspa, paket kombo untuk tidak selamat sampai tujuan apalagi cuma ngandelin sinar bulan. Pilihan kedua lewat situbondo belok ke bondowoso di barat laut ijen, jaraknya memang sedikit lebih jauh, namun nanjaknya pake belok, dan ada aspalnya walaupun compang camping. Jam sudah menunjuk pukul 21 kami masih melaju di kaki gunung ijen menerobos gelap sempurnaya hutan pegunungan, mengikuti kelokan kelokan jalan batu batu lepas. Dikanan kiri, remang remang tampak perkebunan, sepertinya kopi atau teh. Sepanjang jalan hanya ketemu 1 mobil, itupun lagi mogok kejebak kubangan. Sepertinya mereka juga pelancong. Mobil tua kami mengalahkan new pajero sport berplat L itu.  Klimaks jalan berakhir di pos lapor desa Sempol. saya keluar mobil dengan jaket tebal, sarung tangan dan topi, itu pun masih belum mampu menahan gemeretak gigi karena duingin. Setelah membayar 10 ribu dan mencatatkan identitas, portal dibuka, kami diijinkan melintas. Dari pos desa sempol jalan sudah berubah mulus walau hanya selebar satu mobil dan gelap makin pekat. Jam 12 tengah malam kami tiba di paltuding, pos terakhir sebelum mendaki ijen. Dini hari yang sangat sepi kami menggedor salah satu pondok untuk menginap. Dari cahaya senter terlihat semua petunjuk di penginapan ini menggunakan bahasa inggris dan prancis. Sepertinya prancis jadi wisatawan asing paling dominan disini. Setelah menyepakati harga sewa, kami bergegas tidur sambil melawan udara dingin menusuk dan mendengar lolongan anjing (ntah anjing/anjing hutan/atau serigala mungkin).

kami hanya punya waktu 2 jam untuk tidur sebelum mendaki mengejar nirwana di kawah ijen

Monday 11 March 2013

Huru Hara ke Kawah Ijen

kawah ijen

Di atas kursi di depan meja belajar sambil mempersiapkan ujian, pikiran saya fokus bukan pada materi ujian tapi pada  kemana saya akan pergi waktu libur  pasca ujian.  Pencarian ide dimulai dengan berpikir keras untuk mengingat  bucket list tempat-tempat eksotis yang belum dikunjungi. Dengan prioritas budget dan waktu jatuhlah pilihan pada kawah Ijen. Dari mana muncul ide ini?? Di tengah usaha membongkar isi otak, saya menemukan ingatan mengenai obrolan ringan saya dengan teman dan ada kata kata ijen disana.

Pengumpulan informasi dimulai dengan mendekatkan diri pada Tuhanya informasi duniawi si Google, ulasan ringkas  wikitravel, dan situs berbahas inggris lainnya. “oh my God” ternyata tempat ini tenar di dunia maya terbukti dengan  jumlah artikel yang menggunakan kata Ijen mencapai 3.340.000 tulisan. Di search foto fotonya makin bikin ngeiler. Kenapa sekarang saya baru tahu ada surga yang letaknya masih di Jawa?. Memang lebih baik kepagian daripada kesiangan, lebih baik kesiangan dari pada kemalaman, tapi kan terlambat tetap lebih baik daripada tidak sama sekali kan??.  Makin mencari tahu, makin ke ubun ubun aja keharusan ketempat ini. Pokoknya harus jadi titik.!  Pencarian selanjutnya adalah bagaimana saya kesana?. Puluhan artikel catatan perjalanan saya baca sekilas sekilas sampai menemukan 2 (dua)  jalur utama kesana yaitu lewat banyuwangi atau lewat bondowoso dengan kelebihan dan kekurangan masing masing.  Rencana pun tersusun seperti ini : pagi hari dari Yogyakarta ke Banyuwangi naik kereta ekonomi sri tanjung , karena akan tiba tengah malam, maka menginap di stasiun, kemudian dilanjutkan pagi menuju ke arah Paltuding, desa tertinggi sebelum kawah ijen dengan naik angkutan desa disambung truk pengangkut belerang, kemudian menginap di atas dan menikmati kawah ijen saat sunrise. Very great planning with a very low budget and take a long time, but very adventurous.

Checklist selanjutnya adalah dengan siapa saya akan pergi?? Saya menghubungi beberapa teman saya dengan menjabarkan short itinerary-nya.  Di antara hampir 10 teman yang masuk list kemungkinan berminat  hanya 3 orang yang menyatakan akan ikut, itu pun akhirnya cuma 1 (satu) yang bilang pasti bias sebut saja namanya Bayu. Surprisenya lagi, ia dengan sukarela menyediakan mobil dan ada driver keluarganya yang juga ikut, otomatis itu semua merubah rencana sebelumnya tentunya merubahnya jadi lebih baik. Walaupun kesanya jadi kurang menantang tetapi tidak masalah karena akan lebih hemat waktu toh?.   Selain ajakan secara personal, saya juga memposting rencana ini di sebuah forum komunitas traveller . Surprise lagi  yang kedua besoknya ada telpon dari akun skype asing yang ingin ikut gabung ke Ijen setelah membaca postingan di forum. Namanya Martin asal scotlandia. Kami pun bersepakat bertemu di situbondo karena dia masih berada di Bali sampai hari itu.

Perjuangan keras memajukan jadwal ujian anestesi benar benar menguras tenaga, emosi dan pikiran. Berkutat dengan birokrasi yang serba ribet dan tidak pasti memang tidak menyenangkan. Dengan sedikit kengototan  ujian pun bisa dilaksanakan tanpa molor lagi. Hari jumat itu, ujian dimulai jam 14.00 dan diberi waktu dua jam untuk mengerjakan. Pukul  15.00 saya sudah mengumpulkan jawaban ujian dan segera berlari ke parkir dengan target tidak ketinggalan kereta. Ahaaa saya belum packing sama sekali.

Sekali lagi saya harus melempar  tas kuliah  ke atas kasur dan segera menggantikannya dengan ransel kecil untuk segera dijejalkan kaos, jins, dan segala hal keperluan travelling.  Teori keselamatan berkendara pun lupa saya amalkan saat melaju ke stasiun. Semua demi kereta api terakhir dan satu satunya yang akan menuju Madiun.  Kereta terakahir ke madiun hari itu sempet saya kejar, namun  di dalam kereta madiun jaya saya belum bisa duduk manis karena kalah berebut kursi.

aktivitas penambangan belerang di bibir kawahh ijen
Bayu menyambangi saya didepan gerbang stasiun madiun. Ibu dan ayahnya menyambut dangan ramah. Kelaparan saya akibat mengerjakan ujian dan lari mengejar kereta terpuaskan masakan ibunya,  benar benar malaikat. Semalam di Madiun sudah sangat cukup merepotkan keluarga teman  bayu . saat azan subuh mengumandang kami semua sudah bangun untuk sarapan dan bersiap siap. Hal paling mengejutkan dari hasil persiapan ini adalah tas saya yang teryata jauh lebih kecil dari yang bayu bawa. Saya Cuma bawa ransel kecil dan bayu bawa keril besar plus tas kamera. Saya pun bingung siapa yang salah disini. Muncul satu lagi perbedaan adalah saat akan mulai pergi, kepergian teman saya ini dilepas kedua orang tua seperti akan pergi sangat jauh, lama lama diperhatikan adegannya jadi mengharukan, sedangkan saya belum ijin ke orang tua, namun di kemudian hari saya ijin ijin kok.

Perjalanan ke Ijen pun dimulai dari sini…