Dretttt…tttt….tt,seakan masih tidak percaya kalau alarm hape sudah berbunyi. Baru gulang guling sambil berusaha mengalahkan dingin, jam sudah menunjukkan pukul 3 subuh. Waktu 2 jam yang d rencanakan untuk tidur tidak berjalan sesuai rencana.
Tergopoh gopoh bangun mengalahkan rasa malas, kami bersiap siap mendaki ke kawah ijen. Daripada nanti malah menyesal karena terlambat menyaksikan sunrise Dengan modal senter sebiji untuk berempat, kami jalan perlahan menyusuri jalur yang telah disediakan. Dari pos paltuding ke kaldera ijen berjarak sekitar 3 kilo meter. Jarak yang tidak bisa disepelekan karena menanjak, berkelok, oksigen tipis, kabut tebal, dan gerimis. Di bagian kiri jalur pendakian ada patok penanda jarak setiap seratus meter, terlihat samar samar oleh sorot lampu senter. Kabut subuh itu cukup tebal untuk membuat pandangan jelas hanya sejauh 3 langkah kaki, selebihnya tidak terlihat.
Panas badan dan cucuran keringat akibat jalan yang makin menanjak belum cukup membuat saya berani mengeluarkan tangan dari balik kantong jaket. Apalagi saya lupa membawa sarung tangan, karena tidak menyangka akan sedingin ini. Semakin tinggi, semakin sering juga kami berhenti, menghela napas, mengumpulkan cadangan oksigen dan tenaga. Sampai di kilometer kedua kami berhenti di sebuah bangunan yang terlihat seperti warung. Ternyata tempat ini adalah tempat penimbangan belerang yang diangkut masyarakat dari kawah ijen untuk ditukarkan menjadi rupiah sebelum diangkut ke pabrik pengolahanya di Licin, Banyuwangi. Disini kami berhenti hampir satu jam karena hujan bertambah lebat menambah dinginnya subuh itu. Di tempat ini ada satu rombongan wisman dengan guide, mereka semua dari prancis. Sebelumnya di bawah tadi kami pun bertemu wisman dan mereka juga dari prancis. Wisman ini well prepare, menggunakan raincoat, ngemil buah dan biscuit, sedangkan kami cuma bisa menelan air mineral bergantian plus menelan air ludah. Miris!
Selepas dari pos timbang jalan makin menyempit, berpasir, dan licin. Pemandangan di sekitar tidak terlihat sama sekal, semua masih berselimut kabut. Yang samar samar terlihat adalah jurang di sisi kanan saya. Ujung jalan ini berujung di pertigaan. Sepertinya ini adalah puncak, karena jalanan selanjutnya melandai. Dari tempat ini masih belum telihat apa apa. Masih hanya kabut dan diri saya sendiri yang terlihat jelas. Di kejauhan tampak kelap kelip cahaya berjejer beriringin. Kami berjalan menuju arah cahaya tersebut tersebut. Rupanya cahaya itu berasal dari senter para pengunjung berhenti di punggung kaldera.
Tangan saya mulai memerah dan terasa kebas karena suhu yang dingin. Bulan juli agustus merupakan suhu terdingin di ijen. Dari catatan, suhu bisa jatuh diangka 0 – 4 derajat celcius. Langit sama sekali tidak terlihat, pemandangan apa pun tidak terlihat sama sekali, hanya kabut tebal dan gerimis (ntah gerimis atau kabut yang mengembun berair). Sampai desis angin yang cukup besar tiba tiba berhembus berulang kali. Tiba tiba di depan mata saya terbuka pemandangan yang sedari tadi saya tidak sadari bahwa saya ada di depannya.
Perlahan – lahan kabut terhempas angin, tampak kaldera panjang melingkar di puncak tebing terjal dengan danau kawah berwarna hijau toska cemerlang di tengahnya…sungguh pemandangan maha sempurna. Dramatis. Fantastis!. Langit pun tidak mau kalah menggoreskan lukisan indah di kanvas ilahi ini. Gurat gurat cahaya merah keemasan berpendar di langit, muncul dari balik puncak puncak kaldera. Secara garis besar bisa saya gambarkan bahwa kawah ijen dikelilingi tebing kaldera selebar jalan setapak untuk dua orang. Dari puncak jalan pendakian, kita dapat belok ke kiri untuk mencapai dataran kaldera yang lebih tinggi dan mendapatkan sudut padang yang lebih jelas dari landscape pegunungan dan liauk liuk kaldera yang melingkar. Belok ke kanan untuk mendapatkan pemandangan danau kawah secara utuh. Saya dan Martin terlebih dahulu berjalan ke kiri menikmati deretan pepohonan kerdil yang tampak mistis tertutup kabut dan basah oleh bulir bulir embun, kontras dengan abu vulkanik hitam yang mengelilinginya. Kami berhenti cukup lama di balik pepohonan ini menikmati deretan pegunungan lain yang puncak puncaknya menyembul dibalik kumpulan awan putih. Angin tiba tiba berhembus kencang kembali, membawa kembali kabut dan aliran udara sedingin es, kali ini benar benar membuat tangan terasa seperti ditampar – tampar, perih dan terasa tebal. Saya sadar ini sudah berbahaya, ujung ujung saraf di tangan sudah tidak bisa bertoleransi pada suhu dingin ini. Saya meringkuk berlindung di balik pohon pohon kerdil, berusaha menghindar dari terpaan angin.
Saat kabut mulai memudar kami menuju ke kaldera tebing kawah. Kaldera ini lebih landai, datar, namun sempit. Disebelah kiri Nampak danau asam berair hijau toska terang, di sisi kanan tebing jurang ijen yang ditutupi vegetasi hijau dengan gelayutan awan putih bersemburat emas kemerahan diterpa fajar. Jalan di kaldera ini berwarna hitam pekat karena dibentuk dari abu vulkanik letusan ijen berkali kali. Tebing curamnya tampak berkelok kelok seperti tersisir sisir raksasa, bekas aliran lava pijar. Sungguh kontras alam yang menakjubkan. Dari jalan landai kadera ini di kejauhan, di keempat sisi, pemandangan lebih mengagumkan lagi, deretan puncak puncak gunung yang mencuat dari balik gumpalan lautan awan putih, kemerahan sinar matahari yang berpendar dari balik puncak gunung hijaunya serta langit biru bersih dengan beberapa noda noda awan kemerahan Dari atas kaldera saya dan Martin turun ke arah kawah. Bayu menunggu atas karena tidak tahan asap belerangnya.
Untuk menuju kawah kami harus turun sejauh 1 kilometer. Turunan ini sangat curam, mulai dari setengah miring sampai kemiringan severtikal tembok gedung. Setapak demi setapak, dengan penuh kehati-hatian saya memilih batu untuk di pijak. Kabarnya pernah ada turis wanita asal Sweden yang meninggal karena terpeleset saat turun ke kawah. Ngeri juga mendengarnya. Dalam perjalanan kami berpapasan dengan banyak penambang yang akan turun ke kawah untuk mengambil belerang dan penambang lain yang berjalan ke atas menuju pos timbang dengan pikulan dua keranjang berisi bongakahan batu belerang. Berat pikulan itu berkisar 70 – 90 kilogram. Awalnya saya tidak percaya dengan beratnya yang tidak masuk akal karena bongkahan belerang itu tidak tampak seperti batu yang berat, hanya tampak seperti bongkahan cadas tanah yang ringan. Sampai saya mencoba mengangkatnya sendiri. Jangankan terangkat, bergetar saya tidak,malah saya yang hampir jatuh. Tentu saja saya jadi percaya sekarang.
Kedatangan turis ke sini meninggalkan budaya buruk. Awalnya dulu turis mungkin merasa iba melihat pekerja tambang yang lalu lalang memikul beban super berat dan berniat member bantuan dengan meletakkan roti, rokok, makanan, atau minuman di keranjang pikulannya. Hal ini lama lama menjadi kebiasaan, sampai levelnya meningkat menjadi sebuah keharusan. Tentu saja hal ini merubah pandangan para pekerja bahwa semua turis jadi wajib melakukan hal itu. Jadilah kami yang kena, kami yang tak tau apa-apa dan tidak membawa apa-apa dimintai roti dan rokok oleh para pemikul belerang yang berpapasan. Ini jadi membuat kami tidak enak dan merasa tidak nyaman. Percakapan dan informasi yang keluar dari lawan bicara pun seperti tidak alamiah karena ada pamrih dalamnya. Tapi itulah dua sisi pariwisata, turisme membawa kesejahteraan sekaligus mengikis nilai nilai kealamian. Dari yang apa adanya menjadi apa yang seharusnya ada, dari sudut keinginan pengunjung. By the way, akhirnya sampai juga di bibir kawah. Kawah ini berasap dan di beberapa sisi mengeluarkan gelembung gelembung seperti air mendidih. Ingin rasanya menyentuh, berendam di air danau berwarnau hijau toska cerah ini, tapi tentu saja tidak saya lakukan. Air danau yang asam dan panas dalam hitungan detik bisa meluruhkan badan menjadi larutan penambah mineral danau. Tapi ke-extreman itu yang menyebabkan dia menjadi punya daya tarik.
Di pinggiran danau inilah para penambang dan mandor bekerja, membongkar tumpukan batu belerang dari dalam kepulan asap belerang dan panas uap vulkanis. Bau asap belerang ini seperti telur busuk, pekatnya membuat nafas tersengal dan mata merah berair. Saya menutup hidung dengan masker basah agar bisa berjalan mendekati para pekerja yang sibuk bertaruh nyawa membongkar emas emas penghidupannya. Tiba tiba ada yang menyapa “hi, good morning,” sapa seorang bule dengan logat yang jelas bukan dari amerika atau british. “hi, good morning too” benar ternyata dia orang prancis. Kami asik ngobrol sampai saya malu karena tau kali ini adalah keenam kalinya ia menginjak ijen. Dia pernah surfing di aceh, mentawai, krui lampung, NTT, sampai papua. Selama ini saya kemana aja?? Bahkan banyak nama tempat di Indonesia yang dia dia sebutkan saya baru mendengar pertama kalinya.
"Ketika pagi menggantikan malam, kau buka mata dan yang kau lihat adalah gunung dan kawah hijau toska dikelilingi kaldera gunung berapi dengan pendar kemerahan sang surya, yang kau cium adalah aroma embun di pepohonan, aroma abu vulkanis, sampai aroma sulphur yang menyengat, yang kau rasakan adalah dinginnya pagi berubah menjadi kehangatan terpaan fajar, yang kau dengar adalah desis angin mengusir kabut dan suara burung burung dataran tinggi. Itu lah yang dinamakan kesempurnaan sebuah pagi dalam satu hari hidupmu. Itulah sempurnanya pagi di Ijen"