Saturday, 19 October 2013

Sempurnanya pagi di KAWAH IJEN

Dretttt…tttt….tt,seakan masih tidak percaya kalau alarm hape sudah berbunyi.  Baru gulang guling sambil berusaha mengalahkan dingin, jam sudah menunjukkan pukul 3 subuh. Waktu 2 jam yang d rencanakan untuk tidur tidak berjalan sesuai rencana. 

Tergopoh gopoh bangun mengalahkan rasa malas, kami bersiap siap mendaki ke kawah ijen.  Daripada nanti malah menyesal karena terlambat menyaksikan sunrise Dengan modal senter sebiji untuk berempat, kami jalan perlahan menyusuri jalur yang telah disediakan. Dari pos paltuding ke kaldera ijen berjarak sekitar 3 kilo meter.  Jarak yang tidak bisa disepelekan karena menanjak, berkelok, oksigen tipis, kabut tebal, dan gerimis. Di bagian kiri jalur pendakian ada patok penanda jarak setiap seratus meter, terlihat samar samar oleh sorot lampu senter. Kabut subuh itu cukup tebal untuk membuat pandangan jelas hanya sejauh 3 langkah kaki, selebihnya tidak terlihat.

Panas badan dan cucuran keringat akibat jalan yang makin menanjak belum cukup membuat saya berani mengeluarkan tangan dari balik kantong jaket. Apalagi saya lupa membawa sarung tangan, karena tidak menyangka akan sedingin ini. Semakin tinggi, semakin sering juga kami berhenti, menghela napas, mengumpulkan cadangan oksigen dan tenaga. Sampai di kilometer kedua kami berhenti di sebuah bangunan yang terlihat seperti warung. Ternyata tempat ini adalah tempat penimbangan belerang yang diangkut masyarakat dari kawah ijen untuk ditukarkan menjadi rupiah sebelum diangkut ke pabrik pengolahanya di Licin, Banyuwangi. Disini kami berhenti hampir satu jam karena hujan bertambah lebat menambah dinginnya subuh itu. Di tempat ini ada satu rombongan wisman dengan guide, mereka semua dari prancis. Sebelumnya di bawah tadi kami pun bertemu wisman dan mereka juga dari prancis.  Wisman ini well prepare, menggunakan raincoat, ngemil buah dan biscuit, sedangkan kami cuma bisa menelan air mineral bergantian plus menelan air ludah. Miris!

Selepas dari pos timbang jalan makin menyempit, berpasir, dan licin. Pemandangan di sekitar tidak terlihat sama sekal, semua masih berselimut kabut. Yang samar samar terlihat adalah jurang di sisi kanan saya. Ujung jalan ini berujung di pertigaan. Sepertinya ini adalah puncak, karena jalanan selanjutnya melandai. Dari tempat ini masih belum telihat apa apa. Masih hanya kabut dan diri saya sendiri yang terlihat jelas. Di kejauhan tampak kelap kelip cahaya berjejer beriringin. Kami berjalan menuju arah cahaya tersebut tersebut. Rupanya cahaya itu berasal dari senter para pengunjung berhenti di punggung kaldera.

Tangan saya mulai memerah dan terasa kebas karena suhu yang dingin. Bulan juli agustus merupakan suhu terdingin di ijen. Dari catatan, suhu bisa jatuh diangka 0 – 4 derajat celcius.  Langit sama sekali tidak terlihat, pemandangan apa pun tidak terlihat sama sekali, hanya kabut tebal dan gerimis (ntah gerimis atau kabut yang mengembun berair). Sampai desis angin yang cukup besar tiba tiba berhembus berulang kali. Tiba tiba di depan mata saya terbuka pemandangan yang sedari tadi saya tidak sadari bahwa saya ada di depannya.

Perlahan – lahan kabut terhempas angin, tampak kaldera panjang melingkar di puncak tebing terjal dengan danau kawah berwarna hijau toska cemerlang di tengahnya…sungguh pemandangan maha sempurna. Dramatis. Fantastis!. Langit pun tidak mau kalah menggoreskan lukisan indah di kanvas ilahi ini. Gurat gurat cahaya merah keemasan berpendar di langit, muncul dari balik puncak puncak kaldera.   Secara garis besar bisa saya gambarkan bahwa kawah ijen dikelilingi tebing kaldera selebar jalan setapak untuk dua orang. Dari puncak jalan pendakian, kita dapat belok ke kiri untuk mencapai dataran kaldera yang lebih tinggi dan mendapatkan sudut padang yang lebih jelas dari landscape pegunungan dan liauk liuk kaldera yang melingkar. Belok ke kanan untuk mendapatkan pemandangan danau kawah secara utuh. Saya dan Martin terlebih dahulu berjalan ke kiri menikmati deretan pepohonan kerdil yang tampak mistis tertutup kabut dan basah oleh bulir bulir embun, kontras dengan abu vulkanik hitam yang mengelilinginya. Kami berhenti cukup lama di balik pepohonan ini menikmati deretan pegunungan lain yang  puncak puncaknya menyembul dibalik kumpulan awan putih. Angin tiba tiba berhembus kencang kembali, membawa kembali kabut dan aliran udara sedingin es, kali ini benar benar membuat tangan terasa seperti ditampar – tampar, perih dan terasa tebal. Saya sadar ini sudah berbahaya, ujung ujung saraf di tangan sudah tidak bisa bertoleransi pada suhu dingin ini. Saya meringkuk berlindung di balik pohon pohon kerdil, berusaha menghindar dari terpaan angin. 

Saat kabut mulai memudar kami menuju ke kaldera tebing kawah. Kaldera ini lebih landai, datar, namun sempit. Disebelah kiri Nampak danau asam berair hijau toska terang, di sisi kanan tebing jurang ijen yang ditutupi vegetasi hijau dengan gelayutan awan putih bersemburat emas kemerahan diterpa fajar. Jalan di kaldera ini berwarna hitam pekat karena dibentuk dari abu vulkanik letusan ijen berkali kali. Tebing curamnya tampak berkelok kelok seperti tersisir sisir raksasa, bekas aliran lava pijar. Sungguh kontras alam yang menakjubkan. Dari jalan landai kadera ini di kejauhan, di keempat sisi, pemandangan lebih mengagumkan lagi, deretan puncak puncak gunung yang mencuat dari balik gumpalan lautan awan putih, kemerahan sinar matahari yang berpendar dari balik puncak gunung hijaunya serta langit biru bersih dengan beberapa noda noda awan kemerahan Dari atas kaldera saya dan Martin turun ke arah kawah. Bayu menunggu atas karena tidak tahan asap belerangnya.

Untuk menuju kawah kami harus turun sejauh 1 kilometer. Turunan ini sangat curam, mulai dari setengah miring sampai kemiringan severtikal tembok gedung. Setapak demi setapak, dengan penuh kehati-hatian saya memilih batu untuk di pijak. Kabarnya pernah ada  turis wanita asal Sweden yang meninggal karena terpeleset saat turun ke kawah. Ngeri juga mendengarnya. Dalam perjalanan kami berpapasan dengan banyak penambang yang akan turun ke kawah untuk mengambil belerang dan penambang lain yang berjalan ke atas menuju pos timbang dengan pikulan dua keranjang berisi bongakahan batu belerang. Berat pikulan itu berkisar 70 – 90 kilogram. Awalnya saya tidak percaya dengan beratnya yang tidak masuk akal karena bongkahan belerang itu tidak tampak seperti batu yang berat, hanya tampak seperti bongkahan cadas tanah yang ringan. Sampai saya mencoba mengangkatnya sendiri. Jangankan terangkat, bergetar saya tidak,malah saya yang hampir jatuh. Tentu saja saya jadi percaya sekarang.

Kedatangan turis ke sini meninggalkan budaya buruk. Awalnya dulu turis mungkin merasa iba melihat pekerja tambang yang lalu lalang memikul beban super berat dan berniat member bantuan dengan meletakkan roti, rokok, makanan, atau minuman di keranjang pikulannya. Hal ini lama lama menjadi kebiasaan, sampai levelnya meningkat menjadi sebuah keharusan. Tentu saja hal ini merubah pandangan para pekerja bahwa semua turis jadi wajib melakukan hal itu. Jadilah kami yang kena, kami yang tak tau apa-apa dan tidak membawa apa-apa dimintai roti dan rokok oleh para pemikul belerang yang berpapasan. Ini jadi membuat kami tidak enak dan merasa tidak nyaman. Percakapan dan informasi yang keluar dari lawan bicara pun seperti tidak alamiah karena ada pamrih dalamnya. Tapi itulah dua sisi pariwisata, turisme membawa kesejahteraan sekaligus mengikis nilai nilai kealamian.  Dari yang apa adanya menjadi apa yang seharusnya ada, dari sudut keinginan pengunjung. By the way, akhirnya sampai juga di bibir kawah. Kawah ini berasap dan di beberapa sisi mengeluarkan gelembung gelembung seperti air mendidih. Ingin rasanya menyentuh, berendam di air danau berwarnau hijau toska cerah ini, tapi tentu saja tidak saya lakukan. Air danau yang asam dan panas dalam hitungan detik bisa meluruhkan badan menjadi larutan penambah mineral danau. Tapi ke-extreman itu yang menyebabkan dia menjadi punya daya tarik.

Di pinggiran danau inilah para penambang dan mandor bekerja, membongkar tumpukan batu belerang dari dalam kepulan asap belerang dan panas uap vulkanis. Bau asap belerang ini seperti telur busuk, pekatnya membuat nafas tersengal dan mata merah berair. Saya menutup hidung dengan masker basah agar bisa berjalan mendekati para pekerja yang sibuk bertaruh nyawa membongkar emas emas penghidupannya. Tiba tiba ada yang menyapa “hi, good morning,” sapa seorang bule dengan logat yang jelas bukan dari amerika atau british.  “hi, good morning too” benar ternyata dia orang prancis. Kami asik ngobrol sampai saya malu karena tau kali ini adalah keenam kalinya ia menginjak ijen. Dia pernah surfing di aceh, mentawai, krui lampung, NTT, sampai papua. Selama ini saya kemana aja?? Bahkan banyak nama tempat di Indonesia yang dia dia sebutkan saya baru mendengar pertama kalinya.

"Ketika pagi menggantikan malam, kau buka mata dan yang kau lihat adalah gunung dan kawah hijau toska dikelilingi kaldera gunung berapi dengan pendar kemerahan sang surya, yang kau cium adalah aroma embun di pepohonan, aroma abu vulkanis, sampai aroma sulphur yang menyengat, yang kau rasakan adalah dinginnya pagi berubah menjadi kehangatan terpaan fajar, yang kau dengar adalah desis angin mengusir kabut dan suara burung burung dataran tinggi.  Itu lah yang dinamakan kesempurnaan sebuah pagi dalam satu hari hidupmu. Itulah sempurnanya pagi di Ijen"

Tuesday, 8 October 2013

Jalan Panjang ke Kawah Ijen

Hampir lima jam sudah kami berempat berkendara, sudah selama itu juga waktu terbunuh dengan obrolan ngalor ngidul, ngemil, ngobrol lagi, ngemil lagi sampai tiba di kota di kecamatan Nguling, Pasuruan. Kami berhenti di tempat makan terkenal yang menjadi rekomendasi semua orang yang pernah lewat disini. Ya namanya Rawon Nguling, terkenal seantero seIndonesia dan konon ada cabangnya di Jakarta. Bisa dibuktikan, ketika menengok ke dinding tertempel kliping koran, majalah yang memuat kunjungan makan siang presiden SBY disini. Pasti kualitas dan rasanya diatas standard kan?! . selain rawon masih banyak menu jawatimuran lain. Pastinya semua pilihnya rawon…Cuma sekali lewat disini masak yam au coba yang lain. Terkecuali saya karena saya tidak makan sapi. Kembali melanjutkan perjalanan, kembali lagi ke adegan yang sama, ngobrol, ngemil, sampai ketiduran. Sampai lewat di daerah Paiton, probolinggo. Pembangkit listrik paiton yang berdiri supermegah di tepi laut, di pinggir jalur pantura ini sungguh menarik perhatian siapa saja yang melintas. Kawasanya super besar dan terlihat canggih dengan instalasi bangunanya yang rumit.

Perkiraan saya jauh meleset. Awalnya saya kira akan sampai daerah Situbondo sore sehingga bisa langsung naik ke Ijen. Dan baru jam 1 siang kami sudah hamper sampai di Situbondo. Bingung mau ngapain, saya buka peta wisata jawa timur yang sempat diprint sebelum berangkat. Di peta ada petunjuk tempat wisata pasir putih di jalan yang akan kami lewati. Kami putuskan mampir ksana dulu untuk menghabiskan waktu. Tapi sepanjang pantai utara ini pasirnya hitam terus saking bingungnya mikir apa petanya mungkin salah, sampai ada gerbang bertulis  taman wisata pasir putih. Pasir pantainya sama sekali gak ada putih putihnya. Pantainya pun cuma selebar kangkangan kaki. Tiba - tiba ada bapak yang menawarkan jasa wisata melihat terumbu karang ditengah laut pake perahunya. Berhubung harganya masuk di akal dan gak ada pilihan kegiatan. Kita ikut aja naik perahu si bapak. Ternyata cuma harapan palsu, sama sekali gak ada yang layak disebut terumbu karang, yang ada cuma batu batu karang mati, tanpa ikan. Tapi, waktu balik arah kembali ke pantai, pemandangan pegunungan dan bukit menjulang terlihat begitu indah, yang hitung hitung kami membayar jasa untuk melihat pemandangan ini, bukan si terumbu karang hayalan si Bapak. Meskipun tempat ini masuk kategori biasa saja dan kunjungannya tidak direncanakan, tapi dari bapak perahunyalah kami dapat ide untuk ke Baluran (taman nasional konservasi banteng jawa yang terkenal sebagai Africa van java).

Baluran sebenarnya hanya untuk mengulur waktu karena ada Martin teman kami dari Scotlandia yang akan join ke Ijen terkena macet di pelabuhan gilimanuk sehingga ia akan terlambat sampai di meeting point Situbondo. Tepat setelah magrib dan kebetulan juga kami sudah puas mengexplore isi Baluran, Martin menelpon kalau dia sudah diantara banyuwangi dan situbondo. Kami langsung menyusulnya langsung dari baluran, kembali kea arah situbondo.  Dipinggiran pasar situbondo, kami menemui martin dan langsung berhenti makan di sekitar situ. Dari warung makan ini jugalah kami mendapatkan petunjuk arah ke kawah Ijen melalui jalur Situbondo Bondowoso. Ternyata petunjuk belok kanan 2 kali, lampu merah lurus, terus liat plank belok kiri waktu sudah dipraktekkan jadi susah, jalanan makin lama makin gelap, lampu jalan makin nihil. Plank yang dimaksud bapak pemilik warung hamper kelewatan karena tertutup ranting pohon.  Dari tempat bernama Wonosari ini kita  hanya ngikutin jalan berkelok menanjak yang gelap gulita. Kenapa jalannya bagus mulus terus gak sesuai dengan beberapa info blog yang mengatakan kalo jalur bondowoso ini semakin lama jalurnya akan makin curam dan rusak??. Hmmm…insting bilang ada yang salah. Kami menyetop pemuda berkupluk berbungkus sarung dipinggir jalan. Wah benar, kata pemuda itu kami sedang mengarah ke gunung argopuro, bukan ijen.  Alhasil kami harus balik arah. Sekedar info aja, ijen ini bias diakses dari dua jalur utama. Dari timur laut melalui kota banyuwangi dengan jarak lebih dekat, minus jalan tajam menanjak, lurus, curam, licin tak beraspa, paket kombo untuk tidak selamat sampai tujuan apalagi cuma ngandelin sinar bulan. Pilihan kedua lewat situbondo belok ke bondowoso di barat laut ijen, jaraknya memang sedikit lebih jauh, namun nanjaknya pake belok, dan ada aspalnya walaupun compang camping. Jam sudah menunjuk pukul 21 kami masih melaju di kaki gunung ijen menerobos gelap sempurnaya hutan pegunungan, mengikuti kelokan kelokan jalan batu batu lepas. Dikanan kiri, remang remang tampak perkebunan, sepertinya kopi atau teh. Sepanjang jalan hanya ketemu 1 mobil, itupun lagi mogok kejebak kubangan. Sepertinya mereka juga pelancong. Mobil tua kami mengalahkan new pajero sport berplat L itu.  Klimaks jalan berakhir di pos lapor desa Sempol. saya keluar mobil dengan jaket tebal, sarung tangan dan topi, itu pun masih belum mampu menahan gemeretak gigi karena duingin. Setelah membayar 10 ribu dan mencatatkan identitas, portal dibuka, kami diijinkan melintas. Dari pos desa sempol jalan sudah berubah mulus walau hanya selebar satu mobil dan gelap makin pekat. Jam 12 tengah malam kami tiba di paltuding, pos terakhir sebelum mendaki ijen. Dini hari yang sangat sepi kami menggedor salah satu pondok untuk menginap. Dari cahaya senter terlihat semua petunjuk di penginapan ini menggunakan bahasa inggris dan prancis. Sepertinya prancis jadi wisatawan asing paling dominan disini. Setelah menyepakati harga sewa, kami bergegas tidur sambil melawan udara dingin menusuk dan mendengar lolongan anjing (ntah anjing/anjing hutan/atau serigala mungkin).

kami hanya punya waktu 2 jam untuk tidur sebelum mendaki mengejar nirwana di kawah ijen

Monday, 11 March 2013

Huru Hara ke Kawah Ijen

kawah ijen

Di atas kursi di depan meja belajar sambil mempersiapkan ujian, pikiran saya fokus bukan pada materi ujian tapi pada  kemana saya akan pergi waktu libur  pasca ujian.  Pencarian ide dimulai dengan berpikir keras untuk mengingat  bucket list tempat-tempat eksotis yang belum dikunjungi. Dengan prioritas budget dan waktu jatuhlah pilihan pada kawah Ijen. Dari mana muncul ide ini?? Di tengah usaha membongkar isi otak, saya menemukan ingatan mengenai obrolan ringan saya dengan teman dan ada kata kata ijen disana.

Pengumpulan informasi dimulai dengan mendekatkan diri pada Tuhanya informasi duniawi si Google, ulasan ringkas  wikitravel, dan situs berbahas inggris lainnya. “oh my God” ternyata tempat ini tenar di dunia maya terbukti dengan  jumlah artikel yang menggunakan kata Ijen mencapai 3.340.000 tulisan. Di search foto fotonya makin bikin ngeiler. Kenapa sekarang saya baru tahu ada surga yang letaknya masih di Jawa?. Memang lebih baik kepagian daripada kesiangan, lebih baik kesiangan dari pada kemalaman, tapi kan terlambat tetap lebih baik daripada tidak sama sekali kan??.  Makin mencari tahu, makin ke ubun ubun aja keharusan ketempat ini. Pokoknya harus jadi titik.!  Pencarian selanjutnya adalah bagaimana saya kesana?. Puluhan artikel catatan perjalanan saya baca sekilas sekilas sampai menemukan 2 (dua)  jalur utama kesana yaitu lewat banyuwangi atau lewat bondowoso dengan kelebihan dan kekurangan masing masing.  Rencana pun tersusun seperti ini : pagi hari dari Yogyakarta ke Banyuwangi naik kereta ekonomi sri tanjung , karena akan tiba tengah malam, maka menginap di stasiun, kemudian dilanjutkan pagi menuju ke arah Paltuding, desa tertinggi sebelum kawah ijen dengan naik angkutan desa disambung truk pengangkut belerang, kemudian menginap di atas dan menikmati kawah ijen saat sunrise. Very great planning with a very low budget and take a long time, but very adventurous.

Checklist selanjutnya adalah dengan siapa saya akan pergi?? Saya menghubungi beberapa teman saya dengan menjabarkan short itinerary-nya.  Di antara hampir 10 teman yang masuk list kemungkinan berminat  hanya 3 orang yang menyatakan akan ikut, itu pun akhirnya cuma 1 (satu) yang bilang pasti bias sebut saja namanya Bayu. Surprisenya lagi, ia dengan sukarela menyediakan mobil dan ada driver keluarganya yang juga ikut, otomatis itu semua merubah rencana sebelumnya tentunya merubahnya jadi lebih baik. Walaupun kesanya jadi kurang menantang tetapi tidak masalah karena akan lebih hemat waktu toh?.   Selain ajakan secara personal, saya juga memposting rencana ini di sebuah forum komunitas traveller . Surprise lagi  yang kedua besoknya ada telpon dari akun skype asing yang ingin ikut gabung ke Ijen setelah membaca postingan di forum. Namanya Martin asal scotlandia. Kami pun bersepakat bertemu di situbondo karena dia masih berada di Bali sampai hari itu.

Perjuangan keras memajukan jadwal ujian anestesi benar benar menguras tenaga, emosi dan pikiran. Berkutat dengan birokrasi yang serba ribet dan tidak pasti memang tidak menyenangkan. Dengan sedikit kengototan  ujian pun bisa dilaksanakan tanpa molor lagi. Hari jumat itu, ujian dimulai jam 14.00 dan diberi waktu dua jam untuk mengerjakan. Pukul  15.00 saya sudah mengumpulkan jawaban ujian dan segera berlari ke parkir dengan target tidak ketinggalan kereta. Ahaaa saya belum packing sama sekali.

Sekali lagi saya harus melempar  tas kuliah  ke atas kasur dan segera menggantikannya dengan ransel kecil untuk segera dijejalkan kaos, jins, dan segala hal keperluan travelling.  Teori keselamatan berkendara pun lupa saya amalkan saat melaju ke stasiun. Semua demi kereta api terakhir dan satu satunya yang akan menuju Madiun.  Kereta terakahir ke madiun hari itu sempet saya kejar, namun  di dalam kereta madiun jaya saya belum bisa duduk manis karena kalah berebut kursi.

aktivitas penambangan belerang di bibir kawahh ijen
Bayu menyambangi saya didepan gerbang stasiun madiun. Ibu dan ayahnya menyambut dangan ramah. Kelaparan saya akibat mengerjakan ujian dan lari mengejar kereta terpuaskan masakan ibunya,  benar benar malaikat. Semalam di Madiun sudah sangat cukup merepotkan keluarga teman  bayu . saat azan subuh mengumandang kami semua sudah bangun untuk sarapan dan bersiap siap. Hal paling mengejutkan dari hasil persiapan ini adalah tas saya yang teryata jauh lebih kecil dari yang bayu bawa. Saya Cuma bawa ransel kecil dan bayu bawa keril besar plus tas kamera. Saya pun bingung siapa yang salah disini. Muncul satu lagi perbedaan adalah saat akan mulai pergi, kepergian teman saya ini dilepas kedua orang tua seperti akan pergi sangat jauh, lama lama diperhatikan adegannya jadi mengharukan, sedangkan saya belum ijin ke orang tua, namun di kemudian hari saya ijin ijin kok.

Perjalanan ke Ijen pun dimulai dari sini…



Wednesday, 7 March 2012

bad guy goes to hell, good guy goes to PACITAN


courtesy of kaskus.us-salah satu pantai di pacitan
Rinduku pada pacitan terakumulasi sejak dulu. Sejak pacitan mulai menjadi  sasaran liputan televisi dan media cetak. Sejak dua tahunan ini media berlomba memberitakan betapa mempesonanya debur-debur ombak dipesisir pacitan, bahwa gulungan ombaknya telah memanggil para wisatawan asing pehobi surfing ketempat yang lumayan terpencil ini. Rinduku pada pacitan seperti rindu-rindu mahasiswa lainnya yang selalu ingin kabur dari  penat akan sibuknya dunia kademik, sebuah rindu yang sempurna di gambarkan oleh taufik ismail akan kerinduannya pada padang padang luas di sumba.

Siang itu saya membuat ide dadakan, inilah saatnya untuk menyambangi pacitan. Tanpa pikir panjang saya mengambil keputusan untuk pergi besok pagi. biasa saya melalukan riset singkat lewat google tentang what to do, what to see, and how to get there. kemudian Secara random saya menghubungi beberapa orang yang sekiranya bisa saya ajak mendadak termasuk melalui status facebook dan sms. Pada akhirnya terkumpullah 5 orang.malam harinya 5 orang konfirm untuk bergabung esok hari. 

Jam setengah 7 pagi kami meluncur dari meeting point di seputaran jalan monjali menggunakan travel Joga-pacitan. Moda transportasi umum satu-satunya yang meluncur langsung tanpa transit.  Moda ini pula ternyata secara hutungan fiansial menjadi lebih irit ketimbang naik bis. Kali ini saya malas direpotkan dengan motor. Naik kendaraan umum, tinggal naik, tidur dan diturunkan ditempat yang kita mau dengan badan yang masih segar bugar serta keselamatn yang jauh lebih terjamin. Di dalam travel ini pula saya bisa menyusun semua rencana dengan bantuan narasumber penumpang asli pacitan yang ada disamping saya. Sudah 3 kali jarum panjang jam saya melewati angka 12,mobil kami pun mulai masuk ke wilayah pacitan, wilayah bukit tandus panas senasib dengan gunung kidul, melewati belokan-belokan maut hingga membuat seorang teman saya mendekapkan plastik ke mulut untuk menampung isi perutnya yang meloncat keluar. 

siang hari di teleng ria
di pantai teleng ria kami ditunkan oleh travel, di pantai yang terletak di pinggiran kota inilah kami akan stay. tanpa membuang sedikitpun waktu, kaki kami langkahkan langsung ke bibir pantai untuk mamanggang diri dibawah teriknya mentari tanpa awan sama sekali ditambah silaunya pantulan cahaya dari gulungan ombak pantai. hebatnya teman jalan kami yang paling senior langsung buka baju,berenang dan berjemur di jam 12 begini. sungguh keterlaluan niatnya. Saya sendiri bertekuk lutut di gubuk kecil pinggir pantai yang lumayan melindungi diri dari panas yang membuat kepala pening.

ini dia sotonya
Happy bay bungalow di panatai teleng ria kami pilih sebagai basecamp, disini juga kami rental 3 motor. Perjalanan menjelajah pacitan dimulai dari sini. Di pertigaan keluar dari pantai ada sebuah warung makan dengan menu andalan soto, disinilah sebuah penemuan baru terjadi. Saya menemukan soto terlezat sepanjang 22 tahun hidup di dunia. Soto kudus, soto surabaya, soto padang, soto betawi, soto ambengan, soto sokaraja, soto asalan pinggir jalan, sampai soto restauran masih kalah sama soto di tempat ini. Top banget!3 kali tambah nasi sudah cukup membuktikan kelezatan rasanya.

Dari peta yang saya download jarak pacitan ke arah klayar sejauh 40 KM. Pada kenyataannya tidaklah begitu. Perjalanan tidak selamanya mulus, berbekal penunjuk jalan dan tanya tanya di perempatan kami memacu kendaraan sewa kami. Di tengah jalan salah satu motor kami mengalami bocor ban, bocor bannya pun tidak biasa. Saat dibuka ban dalamnya tergores lurus sepanjang hampir 20 CM. Benar benar sudah tidak bisa diselamatkan dengan tambalan dan harus diganti dengan yang baru. Beruntung sekali pecah bannya di pintu masuk hutan jati yang masih belum jauh dari perkampungan.

Mas tambal ban  menanyakan maksud kedatangan kami ke pacitan.  “ apa toh yang kalian cari jauh jauh ke pacitan” wong Cuma pantai ya gitu gitu aja...masnya malah bilang seperti itu. Ya, sama aja seperti sekian ribu manusia disamping keraton yang sama sekali tidak terarik untuk mengunjungi keraton. Alamiah dan tidak masalah. Tapi dari mas ini pula yang membuat kami sadar kami telah memilih jalur yang salah dan memutar.  Dari arah pacitan menuju jogja melewati pasar punung dan carilah mesjid besar dikiri jalan, berbelok lah disini dan ikuti penunjuk jalan “begitulah pesan masnya seblum memberikan uang kembalian’. Dari petuah mas tadi si kesanya jaraknya pendek. padahal sudah ratusan kelokan, naik turun di jalan yang cukup hanya dilewati satu setengah mobil, di tengah hutan, jarang bahkan tidak ada penduduk rasanya belum ada tanda tanda kberadaan pantai. samapi menemukan pertigaan kecil bergambar tanda panah ke arah klayar membayar ketidaksabaran kami. 

di belokan terkahir yang berada diatas bukit kami berhenti. menyaksikan pantai panjang berpasir putih di pagari pohon pohon kelapa menjulang dengan benteng  pahatan  alam pada batu-batu karst raksasa. sungguh terlalu indahnya. (ikuti keindahan pantai klayar, srau, watu karung dan goa gong di cerita selanjutnyaI 

panati pacitan dari atas (courtesy of google)

denah ke pantai klayar (courtesy of kaskus.us)

mendorong motor rental dari pintu hutan sampai ktemu masyarakat (ban bocor)





Sunday, 4 March 2012

dari macetnya taman safari sampai kejar-kejaran di kebun raya bogor


Hari terakhir di Jakarta rencananya akan saya habiskan di Bogor. Berhubung ini hari minggu rasanya memungkinkan menggunakan kendaraan pribadi menuju Bogor. Pagi itu, rencananya kami akan dihantarkan dengan mobil sampai terminal, tapi melihat jalanan yang cukup sepi rasanya nanggung dan ujung ujungnya kami diantar sampai pertigaan jagorawi bogor. Dari sini disambung angkot naik ke arah ciawi, di perempatan ciawi nyambung angkot lagi ke arah taman safari. Saat itu masih jam 11 pagi, kondisi lalu lintas masih masuk kategori ramai lancar dari kedua arah. Dan enaknya bogor itu adalah sangat gampang mencari angkot. untuk sampai taman safari kami harus naik angkot yang beda lagi. Saking lamanya gak jalan jalan, kami charter saja berhubung harganya hanya 2 kali harga perorang kalo itungan angkot penuh.

sapi india
Aduh..emak..mahal sekali harga tiketnya 100ribu. Kepalang basah sudah jauh jauh kesini masak samapai di depan loket, gak jadi beli seperti saat ke keong mas taman mini (cerita sebelumnya klik disini).. dan lagian disini tidak ada alternatif lain yang bisa dikerjakan. Saya menyerahkan selembar uang merah ke mbaknya dengan doa semoga semuanya nanti terbayarkan. Untuk safari zoo ini, saya sengaja berburu kursi paling depan di bus yang akan kami gunakan untuk keliling. Berwisata disini bisa menggunakan bus desain safari yang disediakan atau bisa juga pakai kendaraan pribadi. Syaratnya cuma satu “anda tidak boleh turun dari kendaraan anda”,. 

Dari samping sopir seorang pemandu wisata menjelaskan satu persatu profil satwa yang kita temui..lucunya mas mas pemandu ini selalu menceritakannya dengan sangat lucu..dan tidak jayus sama sekali. Penjelasanya tidak formal tapi berisi. Hewan-hewan disini memang didesain menempati wilayah kekuasaan tersendiri sehingga tidak terjadi konflik kehewanan. para herbivora diletakkan jauh dari area pemakan daging. Tapi yang sama dari semuanya adalah hewan disini semuanya narsistikstik dan exhibisionis serta punya mental pengemis. Ada macam macam rusa, kuda nil yang pemalas, sapi milgai india yang cantik bola matanya, kerbau preman jalanan, sampai harimau benggala yang segede gadjah. Aduh pokoknya semua hewan yang ada di animal planet (noraknya saya) ada disini. Hahaa..tapi yang paling lucu adalah ngelihat Ilama yang kawin di muka umum..maklum disana gak disediakan kamar bercinta. Petualangan di taman safari diakhiri dengan main main bersama gadjah dan berfoto dengan memangku harimau...semua orang yang ke taman safari kayaknya pasti ambil foto sambil mangku harimau ini. Ya mudah mudahan suatu saat bisa safari beneran ditempat yang beneran seperti di Tanzania kilimanjaro..paling tidak saat ini punya modal mengenal nama nama binatang.


istana bogor
Untuk kembali ke bogor kami menggunakan rute yang sama dengan 3 kali ganti angkot turun ke arah kota. Tapi jalanan bukan padat merayap lagi melainkan tidak bergerak. Diangkot bagian depan yang sangat sempit dengan pintu rusak saya harus berjejal bertiga. Sampai saya ketiduran hampir sejaman kita pun belum sampai ditujuan. Total hampir 3 jam kita dimakan macet. Benar benar merusak mood. belum cukup segitu, sampai di tugu kujang pun kami susah memilih angkot karena semua arah kota macet total. Akhirnya kami jalan kaki juga sampai dapat angkot ke arah kota. Aduh laper juga udah gak ketulungan, dan kelaparan ini hanya sempet dikompensasi dengan sebungkus toge goreng yang isi dan rasanya seperti pecel jawa biasa saja (ini makanan khas bogor lo)

Mumpung di bogor rsanya kurang pas kalo tidak berkunjung ke kebun raya bogor. Tapi itung-itungan waktu dan macet rasanya sangat mepet (Rencannya adalah nanti malam jam 19 saya harus ke stasiun untuk kembali ke jogja mengurus wisuda). Jalan kaki dilanjutkan sampai kebun raya bogor mengingat kalau ngangkot akan muter muter dulu. Tanpa basa basi langsung tancap gas, jalan cepat ke dalam kebun raya bogor. Mengingat ngingat tempat tempat yang dulu pernah dikunjungi. Dari target yang udah ada di kepala , saya cuma punya waktu setengah jam untuk keluar lagi dari kebun yang luas ini. Alhasil di dalam benar-benar lari dalam arti sebenarnya dari kuburan belanda, ke arah kolam istana bogor, ke area pandan, ke arah raflesia arnoldi, jembatan merah dan sampai di taman tempat orang orang piknik pesta kebun. Untung saja kami tidak harus keluar memutar ke arah gate masuk karena ini masih kurang dari 5 menit waktu pintu keluar ditutup.

Usaha kejar-kejaran dengan waktu menjadi sia sia sama sekali karena bis dari terminal bogor ke jakarta ngetemnya hampir sejam nunggu penuh, tol jagorawi pun macet bukan kepalang. Jalan tol yang siang tadi cuma lewat setangah jam, skarang untuk sampai diterminal kampung rambutan saja makan waktu 2 jam plus macet di busway sejam untuk sampai rumah. Tentu saja saya sudah ketinggalan kereta. Kebrangkatan ke jogja pun di tunda sampai subuh esok harinya. HUFFFF..

preman taman safari

kawin di muka umum


foto bareng kucing




Saturday, 3 March 2012

Bersepeda Keliling Indonesia


Menembus lalu lintas sabtu pagi Jakarta tidak sampai membuat dahi mengkerut kerut karena hampir semua kantor tutup pada hari ini. Waktu yang kami habiskan dijalan hanya sekitaran 1 jam saja untuk sampai di gate Taman Mini Indonesia Indah (TMII).  Mobil kami parkir di depan teater keong mas.  Maksud hati ingin pernah merasakan nonton di dalam teater ini, maka saya pun antri di barisan pengantri tiket, karena tempat antrian lumayan panjang sampai di depan loket saya baru bisa dengan jelas membaca tulisan besar harga tiket. Untuk pertunjukan biasa harganya 50ribu.  Mbak penjaga loket menanyakan berapa tiket yang akan saya beli dan dengan pelan saya menjawab, heee..hee..Gak jadi mbak!(sambil cengar cengir).  XXI aja harganya 20ribu isinya film hollywood.

Taman mini itu isinya ternyata bukan anjungan budaya daerah saja tetapi juga ada puluhan museum yang gede gede, taman taman, taman bermain, gedung gedung pertemuan, dan sarana edukatif lain. Dengan waktu terbatas ditemani sebotol air mineral yang saya beli di dalam dengan harga 2 kali harga indomaret saya berjalan ke gedung purna bakti pertiwi, gedung kesayangan pak harto yang berbentuk tumpeeng atau gunungan, megah tapi sayangnya terlalu besar jadi rasanya sudah malas mau masuk. Gerakan saving tenaga ditengah teriknya cuaca.

rumah minangkabau
Setiap orang yang ke taman mini pasti mau masuk ke dalam rumah-rumah adat kan?? Gak ada yang ke sini karena alasan mau ke museum saja.  Berhubung anjungan ada 30an lebih dan jaraknya jauh, kami memilih mengelilingi dengan sepeda tandem yang kami sewa selama 3 jam. Petualangan di mulai dari Aceh, dilanjutkan Sumatera Utara tempat kami mencoba lompat batu pulau nias yang pertma saya kenal dari uang seribuan. melihat tinggi batunya aja udah ciut nyali. tapi sayang kalu tidak mencoba. percobaan loncatan pertama sampai terakhir hasilnya gagal. disamping rumah nias ada rumah batak Toba yang sedang rame karena sedang ada reuni sebuah perkumpulan orang batak yang organ tunggalan keras keras. Pindah  ke sumatera barat untuk mencari tahu isi rumah gadang dan baju pengantin orang minang. 

Mencari rute teredekat, kami langsung ke pulaunya masyarakat dayak. kayuhan sepeda mendarat di depan kalimantan barat, rumah orang dayak itu berupa panggung yang besar besar, kalu dibayangkan bisa memuat    berpuluh-puluh anggota keluarga, disamping itu mereka juga punya semacam rumah pohon yang tinggi didalamnya ada seperti tempat raja bertahta. Bersebelahan dengan itu adalah kalimantan selatan milik masyarakat banjar, ke tempat ini hanya karena teman saya adalh keturunan banjar.

Di tempat lain kami hanya island hoping (loncat dari dayak kalteng, ke toraja ke yogyakarta, ke NTT, dan Bali. Semua punya aura tersendiri. pengalaman berharga disini adalah  nama taman mini tidak mencerminkan luasnya. meskipun demikian hanya di tempat inilah kita bisa berkeliling indonesia dengan sepeda meskipun perlu stamina prima.
rumah joglo yogyakarta
tongkonan toraja

Friday, 3 February 2012

MERINDING DI MUSEUM


Pagi itu kami langsung meluncur meninggalkan tempat tinggal kami di seputaran Tebet menuju daerah Cipayung. Kondisi lalu lintas di pagi itu diluar kebiasaan kota jakarta. Jalanan tidak sampai membuat kami  harus menahan pedal rem berkali kali. Sewaktu melintas di depan kampus UKI, mobil kami diberhentikan oleh seorang polisi bermotor dengan dakwaan pelanggaran lalu lintas karena melewati jalur busway.

Kaca mobil pun kami buka sepertiga,..tanpa basa basi dan dengan wajah yang tidak mengahadap ke kami, tangan polisi langsung masuk . Saya kira dia mau menagih STNK dan SIM, ternyata Aris malah memberikan uang 50ribu dan tanpa kalimat tambahan polisi itu pergi. Saya baru paham makna adegan barusan.

Melintasi Jakarta di pertengahan antara pagi dan siang terasa jauh lebih manusiawi.  Semua penduduknya sedang terpenjara di ruang kerja masing masing.  Perjalanan mencari monumen pancasila sakti pun menjadi menyenangkan. Tempat yang lebih dikenal dengan lubang buaya ini terletak di daerah kelurahan lubang buaya, cipayung, jaktim. Walaupun letakkannya tidak lah di tengah keramain seperti area lain di jakarta, namun penunjuk jalan yang jelas membuat kami tidak tersasar sedikitpun

Di dalam area monumen ini ada  dua fokus tempat. Di bagian kanan adalah bangunan museum yang berisi barang barang terkait G30SPKI sedangkan disebelah kiri adalah monumen pancasila sakti yang berisi patung pahlawan revolusi menjungjung garuda pancasila serta rumah rumahan dengan sumur/lubang buaya tempat pembuangan mayat para jendral.

Tidak sabar rasanya saya langsung masuk. Dengan penuh semangat  saya lari  bukan ke kedua fokus tempat itu melainkan ke toilet di belakang area museum. Perut bergejolak karena belum laporan pagi.  Saya jadi merasa bersalah, jauh jauh kesini malah memprioritaskan tolet diatas segalanya.

Di hadapan monumen pancasila sakti saya berdiri menatap betapa besarnya Burung garuda pancasila yang memayungi ketujuh pahlawan revolusi dibawahnya. Hal paling membuat merinding dan bertanya tanya adalah posisi tangan (kalo gak salah) pak jendral A.yani yang menunjuk tegas ke depan. Ntah apa pesan yang ingin diungkapkan si penggagas  ide monumen ini.

Di depan patung ini ada rumah rumahan dari bambu yang di dalamnya ada sumur/lubang buaya. Sungguh terlalu, saking artistiknya lubang i malah mirip dekorasi OVJ. Suasana mencekam  berhasil dibangun dengan background suara seram penembakan yang dilakukan oleh PKI. Didengar berulang ulang bikin serem karena teriakan teriakan sekarat yang terdengar keras..sayangnya dinodai oleh lubang buaya yang tidak natural.

lubang buaya
Namun masih jauh lebih merinding saat memasuki ruang museum. Museum memang selalu identik dengan benda benda berumur dan memiliki cerita bernilai sejarah. Satu satu ruang pamer  kami masuki. Didalam lemari lemari kaca besar tergantung  baju, sarung, dan celana berlumuran darah, tercabik senjata tajam dan tertembus peluru. Semua dilengkapi dengan ilustrasi, foto foto pasca penyiksaan, dan deskripsi.  Menggabungkan semua yang saya lihat dengan memori  film PKI yang selaluu diputar di TV setiap 30 september seharian di masa orde baru membuat jantung merinding berdegup degup. Kejam dan biadab. Tapi makin merinding makin asik, makin mengesankan. Cuma Aris sudah tak tahan ingin cepat keluar. Dia punya kenangan traumatis dengan G30SPKI saat masih balita. 

Coba ada paket tour malam, pantas untuk di coba. Kan mereka pahlawan pecinta tanah air..pasti gak akan nakut nakutin.