Hampir lima jam sudah kami berempat berkendara, sudah selama itu juga waktu terbunuh dengan obrolan ngalor ngidul, ngemil, ngobrol lagi, ngemil lagi sampai tiba di kota di kecamatan Nguling, Pasuruan. Kami berhenti di tempat makan terkenal yang menjadi rekomendasi semua orang yang pernah lewat disini. Ya namanya Rawon Nguling, terkenal seantero seIndonesia dan konon ada cabangnya di Jakarta. Bisa dibuktikan, ketika menengok ke dinding tertempel kliping koran, majalah yang memuat kunjungan makan siang presiden SBY disini. Pasti kualitas dan rasanya diatas standard kan?! . selain rawon masih banyak menu jawatimuran lain. Pastinya semua pilihnya rawon…Cuma sekali lewat disini masak yam au coba yang lain. Terkecuali saya karena saya tidak makan sapi. Kembali melanjutkan perjalanan, kembali lagi ke adegan yang sama, ngobrol, ngemil, sampai ketiduran. Sampai lewat di daerah Paiton, probolinggo. Pembangkit listrik paiton yang berdiri supermegah di tepi laut, di pinggir jalur pantura ini sungguh menarik perhatian siapa saja yang melintas. Kawasanya super besar dan terlihat canggih dengan instalasi bangunanya yang rumit.
Perkiraan saya jauh meleset. Awalnya saya kira akan sampai daerah Situbondo sore sehingga bisa langsung naik ke Ijen. Dan baru jam 1 siang kami sudah hamper sampai di Situbondo. Bingung mau ngapain, saya buka peta wisata jawa timur yang sempat diprint sebelum berangkat. Di peta ada petunjuk tempat wisata pasir putih di jalan yang akan kami lewati. Kami putuskan mampir ksana dulu untuk menghabiskan waktu. Tapi sepanjang pantai utara ini pasirnya hitam terus saking bingungnya mikir apa petanya mungkin salah, sampai ada gerbang bertulis taman wisata pasir putih. Pasir pantainya sama sekali gak ada putih putihnya. Pantainya pun cuma selebar kangkangan kaki. Tiba - tiba ada bapak yang menawarkan jasa wisata melihat terumbu karang ditengah laut pake perahunya. Berhubung harganya masuk di akal dan gak ada pilihan kegiatan. Kita ikut aja naik perahu si bapak. Ternyata cuma harapan palsu, sama sekali gak ada yang layak disebut terumbu karang, yang ada cuma batu batu karang mati, tanpa ikan. Tapi, waktu balik arah kembali ke pantai, pemandangan pegunungan dan bukit menjulang terlihat begitu indah, yang hitung hitung kami membayar jasa untuk melihat pemandangan ini, bukan si terumbu karang hayalan si Bapak. Meskipun tempat ini masuk kategori biasa saja dan kunjungannya tidak direncanakan, tapi dari bapak perahunyalah kami dapat ide untuk ke Baluran (taman nasional konservasi banteng jawa yang terkenal sebagai Africa van java).
Baluran sebenarnya hanya untuk mengulur waktu karena ada Martin teman kami dari Scotlandia yang akan join ke Ijen terkena macet di pelabuhan gilimanuk sehingga ia akan terlambat sampai di meeting point Situbondo. Tepat setelah magrib dan kebetulan juga kami sudah puas mengexplore isi Baluran, Martin menelpon kalau dia sudah diantara banyuwangi dan situbondo. Kami langsung menyusulnya langsung dari baluran, kembali kea arah situbondo. Dipinggiran pasar situbondo, kami menemui martin dan langsung berhenti makan di sekitar situ. Dari warung makan ini jugalah kami mendapatkan petunjuk arah ke kawah Ijen melalui jalur Situbondo Bondowoso. Ternyata petunjuk belok kanan 2 kali, lampu merah lurus, terus liat plank belok kiri waktu sudah dipraktekkan jadi susah, jalanan makin lama makin gelap, lampu jalan makin nihil. Plank yang dimaksud bapak pemilik warung hamper kelewatan karena tertutup ranting pohon. Dari tempat bernama Wonosari ini kita hanya ngikutin jalan berkelok menanjak yang gelap gulita. Kenapa jalannya bagus mulus terus gak sesuai dengan beberapa info blog yang mengatakan kalo jalur bondowoso ini semakin lama jalurnya akan makin curam dan rusak??. Hmmm…insting bilang ada yang salah. Kami menyetop pemuda berkupluk berbungkus sarung dipinggir jalan. Wah benar, kata pemuda itu kami sedang mengarah ke gunung argopuro, bukan ijen. Alhasil kami harus balik arah. Sekedar info aja, ijen ini bias diakses dari dua jalur utama. Dari timur laut melalui kota banyuwangi dengan jarak lebih dekat, minus jalan tajam menanjak, lurus, curam, licin tak beraspa, paket kombo untuk tidak selamat sampai tujuan apalagi cuma ngandelin sinar bulan. Pilihan kedua lewat situbondo belok ke bondowoso di barat laut ijen, jaraknya memang sedikit lebih jauh, namun nanjaknya pake belok, dan ada aspalnya walaupun compang camping. Jam sudah menunjuk pukul 21 kami masih melaju di kaki gunung ijen menerobos gelap sempurnaya hutan pegunungan, mengikuti kelokan kelokan jalan batu batu lepas. Dikanan kiri, remang remang tampak perkebunan, sepertinya kopi atau teh. Sepanjang jalan hanya ketemu 1 mobil, itupun lagi mogok kejebak kubangan. Sepertinya mereka juga pelancong. Mobil tua kami mengalahkan new pajero sport berplat L itu. Klimaks jalan berakhir di pos lapor desa Sempol. saya keluar mobil dengan jaket tebal, sarung tangan dan topi, itu pun masih belum mampu menahan gemeretak gigi karena duingin. Setelah membayar 10 ribu dan mencatatkan identitas, portal dibuka, kami diijinkan melintas. Dari pos desa sempol jalan sudah berubah mulus walau hanya selebar satu mobil dan gelap makin pekat. Jam 12 tengah malam kami tiba di paltuding, pos terakhir sebelum mendaki ijen. Dini hari yang sangat sepi kami menggedor salah satu pondok untuk menginap. Dari cahaya senter terlihat semua petunjuk di penginapan ini menggunakan bahasa inggris dan prancis. Sepertinya prancis jadi wisatawan asing paling dominan disini. Setelah menyepakati harga sewa, kami bergegas tidur sambil melawan udara dingin menusuk dan mendengar lolongan anjing (ntah anjing/anjing hutan/atau serigala mungkin).
kami hanya punya waktu 2 jam untuk tidur sebelum mendaki mengejar nirwana di kawah ijen
No comments:
Post a Comment
thankyou for your comment..